Ada beberapa mitos mengenai sosok wartawan menurut Elvinaro Ardianto dalam buku handbook of public relations.
1.
Wartawan bisa diundang kapan saja. Hal ini merupakan mitos sehingga
sering kali suatu undangan konferensi pers suatu perusahaan atau lembaga
tidak banyak dihadiri wartawan. Ketidakhadiran tentunya disebabkan
wartawan tersebut menganggap undangan itu kurang memiliki nilai berita,
lokasi undangan terlalu jauh, lokasinya sukar dijangkau kendaraan umum,
sudah terlalu malam karena wartawan sudah lelah, dikejar deadline
penyerahan naskah berita yang lain, dan banyak lagi faktor yang membuat
wartawan tidak bisa diundang kapan saja. Lain halnya kalau ada berita
yang bersifat hard news, seperti kebakaran super mall, tabrakan
kereta api, pesawat jatuh, perampokan, bencana alam. Mereka akan
mengejar peristiwa tersebut kendati sudah tertidur lelap di rumahnya,
dan bukan pada jam kerja. Mereka harus berangkat untuk mengajar sumber
berita hard news tadi.
2. Wartawan selalu memberitakan
hal-hal negatif. Hanya mitos karena wartawan tidak sembarangan dalam
membuat berita karena sebuah berita harus dilengkapi dengan fakta yang
akurat. Selain itu, seorang redaktur sebagai kepanjangtanganan pemimpin
redaksi akan melihat pantas tidaknya sebuah berita diturunkan.
3.
Wartawan selalu komersial. Dengan semakin baiknya tingkat kesehatan
manajemen perusahaan surat kabar, dan bermunculannya wartawan muda yang
berpendidikan tinggi, praktik-praktik meminta imbalan (amplop) dari
sumber berita sudah bukan zamannya lagi.
4. Wartawan selalu
urakan. Wartawan masa kini yang berpendidikan tinggi dan sudah dibekali
etika ketika meliput, sehingga ketika meliput pun menggunakan pakaian
yang rapi dan pantas. Bahkan, pernah terjadi kepada seorang wartawan
Harian Bisnis Indonesia, yang kini menjadi dosen, disangka seorang
dokter oleh protokoler suatu simposium ilmu kedokteran. Begitu pun
ketika meliput sebuah konferensi pers di Jakarta. Karena ia duduk
berdekatan dengan pengusaha, disangka bankir oleh wartawan yang tidak
mengenalnya.
5. Wartawan manusia pintar. Mitos ini yang melekat
dalam masyarakat bahwa wartawan merupakan manusia yang memiliki
intelegensia tinggi harus diwaspadai karena lewat wawancaranya yang
tajam bisa menjerumuskan sumber berita yang salah omong. Pada
kenyataannya tidak betul sebab masih banyak wartawan yang bertanya saat
konferensi pers dengan pertanyaan yang amat sederhana, bahkan tidak
mengerti apa yang dipresentasikan dalam acara itu.
6. Wartawan
yang membutuhkan berita. Misalnya, ketika akan meliput seminar harus
membayar, kemungkinan kecil mereka mau, kalau tidak meninggalkan acara
itu, wartawan akan menunggu di luar, ketika seorang menteri yang menjadi
pembicara dalam seminar itu keluar, maka dikejarnya menteri itu,
besoknya turun berita, tanpa menyebut penyelenggara seminar. Buat
panitia suatu kerugian luput dari publisitas panitia seminar itu di
media massa.
7. Wartawan adalah manusia kebal hukum. Pada
kenyataannya, wartawan tidak kebal hukum. Jika melanggar lalu lintas, ia
tetap ditilang polisi, atau jika ada oknum wartawan yang memeras uang
kepada sumber berita tetap akan diciduk pihak berwajib.
8.
Wartawan sosok yang menakutkan. Akibat mitos ini, tidak sedikit oknum
wartawan yang bergentayangan mencari sumber berita yang ujung-ujungnya
meminta uang.
9.Wartawan bisa menulis apa saja. Dengan mengacu
pada kaidah jurnalistik, wartawan sesungguhnya tidak bisa menulis berita
sekendak hati. Meskipun ia penulisnya, belum tentu redakturnya memuat
berita tersebut karena sebuah berita yang layak dimuat harus benar-benar
faktual.
10. Wartawan manusia sakti. Artinya, wartawan mampu
mengurus apa saja dan dapat menembus rumitnya birokrasi. Karena itu,
muncul mitos jika ingin mengurus sesuatu, sebaiknya menitipkan pada
kenalan seorang wartawan. Padahal, dalam mengurus sesuatu misalnya
perpanjangan SIM dan STNK, wartawan tetap harus mengikuti prosedur resmi
(Abdullah, 2000)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar