JURNALISME ONLINE JUGA HARUS SERIUS
Oleh : MURSIDI HARTONO
Begitu mendapat kabar Australia
menyadap telepon sepuluh pejabat Indonesia, termasuk dirinya dan Ibu Ani,
Presiden SBY kemudian menulis di akun twitter pribadi, @SBYudhoyono. Presiden
meminta PM Australia Tony Abbott meminta maaf dan menjelaskan skandal tersebut.
Tapi tahukah anda, sebelum
berceloteh di twitter, Presiden SBY terlebih dahulu memanggil Menteri Luar
Negeri Marty Natalegawa untuk mendiskusikan kasus ini, dan meminta Menteri
Marty menyampaikan sikap Indonesia kepada Pemerintah Australia. Menteri Marty
kemudian membuat pernyataan pers, memanggil pulang Dubes Indonesia untuk
Australia, dan memanggil pejabat Kedubes Australia keesokan harinya.
Di tengah arus utama berita yang
mendukung sikap tegas Indonesia, ada pula yang iseng. Sebuah situs web milik
media nasional (mainstream) nyelatuk,
terang saja Abbott tidak mau minta maaf, wong
permintaannya dilakukan lewat twitter.
Cerita di atas memperlihatkan
bagaimana perspektif media mempengaruhi cara penulisan berita.
Dalam prinsip jurnalisme
kebenaran ditempatkan dalam urutan teratas.1) Kebenaran dibangun melalui
fakta-fakta. Akurasi terhadap fakta adalah fondasi yang mendasari bangun sebuah
berita: konteks, interpretasi, analisis, dan debat. Jika pengungkapan terhadap
fakta keliru atau bias, maka bengunan cerita atau berita itu bisa dipastikan
akan salah atau bias pula.
Pertanyaannya, bagaimana mungkin
di tengah mudahnya akses informasi sekarang ini seorang jurnalis bisa keliru
melihat fakta?
Jawabannya bukan karena pers atau
jurnalis malas atau lalai menggali fakta, tapi agaknya ini lebih memperlihatkan
kesadaran bahwa pers bisa menjadi alat kepentingan.
Soal pers menjadi alat
kepentingan ini sudah banyak disampaikan oleh banyak kalangan. Pakar komunikasi
politik Prof. Dr Tjipta Lesmana dalam sebuah diskusi di Bali, Desember 2012,
mengingatkan media di dalam fungsinya menyebarluaskan informasi jangan sampai
diperalat oleh kepentingan sesaat. Media atau pers mempunyai fungsi yang sangat
mulia sehingga semestinya dijalankan dengan penuh tanggung jawab dan etika.
Muatan kepentingan di dalam pers
ini mudah ditebak dengan menilik siapa pemilik media-media di Indonesia. Hampir
semua media mainstream dimiliki oleh
tokoh politik atau pebisnis yang kemudian terjun ke dunia politik. Sebagian
besar dari mereka bahkan menggunakan media atau jaringan media miliknya untuk
kampanye politik, baik melalui iklan yang terang-terangan maupun tersembunyi
melalui berita dan talkshow.
Era Media Sosial
Saat ini kita memasuki media
generasi ketiga, setelah media cetak dan media elektronik, yaitu bertumbuhnya
media online. Media generasi ini lahir ketika Mark Drudge, seorang komentator
poltik, secara mengejutkan mengirimi ribuan imel tentang kisah perselingkuhan
Presiden Amerika Serikat Bill Clinton dengan Monica Lewinsky.
Berbekal sebuah laptop dan modem,
Drudge mengirimkan ribuan imel ke berbagai pihak berisi cerita ‘Monicagate’
tersebut yang tak terungkap di media massa, hingga akhirnya ia mengumpulkan kisah
tersebut ke dalam laman pribadinya (dikenal sebagai milist), Drudge Report, pada 19 Januari 1998.
Tanggal tersebut kemudian menjadi
penanda lahirnya jurnalisme online, yang kemudian diikuti oleh para netters di banyak negara. Baru pada
tahun 2000-an, muncul situs-situs pribadi yang menampilkan laporan jurnalistik
pemiliknya, yang kemudian disebut sebagai weblog atau blog.
Jurnalistik online sering diartikan
sebagai penulisan dan penyebarluasan berita melalui internet. Pengertian
teringkas mengenai jurnalistik online dikemukakan J.G. Stoval dalam Web Journalism: Practice and Promise of a
new Medium (2004), yaitu jurnalistik di website.
Menurut Stoval, jurnalistik online longgar didefinisikan sebagai jurnalisme di Web, yang dianggap sebagai media berita karena memungkinkan adanya posting berita dan informasi. Dari definisi Stoval ini pula muncul istilah lain untuk jurnalistik online, yakni Web Journalism (Jurnalistik Website), selain Internet Journalism (Jurnalistik Internet) dan Cyber Journalism (Jurnalistik Siber).
'Gara-gara' website muncul jurnalistik online. Padahal, saat pertama kali ditemukan oleh pakar komputer Inggris, Sir Timothy John Tim Berners Lee, pada 1989, website dimaksudkan untuk memudahkan tukar-menukar dan memperbaharui informasi pada sesama peneliti di tempat ia bekerja.
Karena menyentuh informasi itulah website kini berkembang menjadi media online, yakni media komunikasi massa yang tersaji secara online di internet berupa website (situs web).
Setiap orang kini bisa menjadi jurnalis melalui media sosial. Mirip iklan minuman ringan, jurnalisme masyarakat atau citizen journalism kini merambah kemana-mana, oleh siapa saja, dan kapan saja, terlebih dengan berkembangnya twitter dan facebook. Orang menjadi 'jurnalis dadakan' dengan mengunggah isu, rumors, dan kisah-kisah yang bisa dikategorikan sebagai berita melalui gadget.
Kecepatan Versus Kebenaran
Paul Bradshaw dalam Online Journalism Handbook membagi lima prinsip dasar dalam jurnalisme online. Kelima prinsip tersebut diringkas sebagai BASIC, yakni Brevity (ringkas), Adaptability (beradaptasi dengan teknologi), Scannability (mudah dicerna), Interactivity (sangat interaktif), dan Community and Conversation (membangun komunitas melalui percakapan).
Ada banyak ragam jurnalisme online, tapi saya hanya ingin mencontohkan Mainstream News Site dan Share and Discussion Sites. Termasuk kategori pertama adalah detikcom, inilah.com, okezone, dan media online yang dimiliki oleh media mainstream, seperti kompas.com, republika.com, liputan6.com dan lain-lain. Yang masuk kategori kedua. misalnya Indymedia dan Slashdot.
Jurnalisme online kini menjadi penting bagi industri media. Karena tak cukup banyak waktu, masyarakat kota besar memilih mengakses berita dari manapun dan kapanpun melalui media online.
Tak hanya berita dari media online yang mainstream yang mereka baca, bahkan kabar atau informasi dari blog-blog pribadi juga bisa mereka akses melalui gadget.
Kehadiran citizen journalism memberi warna baru dalam dunia jurnalistik dan memberi masyarakat sudut pandang lain dalam menilai suatu isu yang berkembang. Jurnalisme masyarakat secara tidak langsung dilindungi oleh Peraturan Dewan Pers nomor 5/Peraturan DP/IV/2008 yang menyatakan bahwa kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dihilangkan dan harus dihormati.
Kelebihan lain dari jurnalisme online adalah tampilannya yang lebih menarik karena dipadukan dengan foto, dan terkadang video.
Namun jurnalisme online juga memiliki kelemahan, yakni tingkat akurasinya sering lemah. Hal ini terutama terjadi pada laman-laman blog pribadi atau komunitas. Apa yang disebut sebagai berita atau informasi lebih sering baru berupa rumors.
Pada media online yang mainstream, kelemahan terjadi akibat tuntutan kecepatan atau aktualitas. Terkadang seorang jurnalis online menulis sebuah berita saat berita tersebut sedang terjadi sehingga proses verifikasi belum dilakukan.
Presiden SBY pernah bercerita, suatu ketika dia di sms keluarga yang mengabarkan orang-orang ribut kena macet di jalan Sudirman, Jakarta, gara-gara SBY lewat. Kabar kemacetan 'gara-gara SBY lewat' ini menyebar di media sosial, dan sialnya juga dikutip oleh sebuah portal berita. Padahal saat itu SBY tidak sedang kemana-mana, ia ada di rumahnya di Cikeas!
Kasus di atas hanya salah satu contoh bagaimana fakta, akurasi, dan kebenaran harus dijunjung tinggi seorang jurnalis, apapun medianya.
Kecepatan dan akurasi menjadi isu penting di media online atau media siber. Seharusnya, tuntutan kecepatan dan real time tidak dijadikan pembenaran atas pemuatan berita-berita yang tidak akurat dan kredibel. Kredibilitas adalah aset termahal media, dan merupakan prinsip utama jurnalistik.
Ada sejumlah persepsi keliru di kalangan pengelola dan jurnalis media online. Persepsi keliru itu antara lain, jurnalisme online bukanlah jurnalisme yang serius. Traffic acapkali dijadikan sebagai pencapaian utama, mengalahkan kualitas dan kredibilitas. Liputan mendalam tak mendapatkan tempat, apalagi peliputan investigatif.
Akibat perspektif keliru itu, berita-berita dalam media online di Indonesia terjebak pada berita yang dangkal dan citranya menjadi berita kelas dua. Hal ini terjadi mereka berlomba-lomba mengejar traffic. Pada saat bersamaan pasar iklan di dunia online terbilang brutal karena menggunakan sistem iklan berdasarkan traffic.
Padahal media online di Amerika dan Eropa tidak selalu bertarung dengan kecepatan dengan mengorbankan akurasi. Huffingtonpost.com, misalnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar